Karya Julienda Binantiwi, Meraih Juara 2 Menulis Cerpen Tingkat Kota Tahun 2010
Suatu malam suasana sepi begitu mendominasi Desa Krapayak. Padahal malam itu hampir seluruh warga desa berkumpul di masjid untuk memperingati malam Nuzulul Qur’an tepatnya pada malam ketujuh belas bulan Ramadhan.
Lantunan merdu ayat-ayat Al-Qur’an menggema ke setiap penjuru desa. Meskipun warga Krapyak hidup damai dan rukun, mereka kurang bersosialisasi dengan warga desa lain. Bahkan antarwarga desa itu sendiri terlihat kurang akrab dalam hubungan bersilaturahmi. Memang dalam hal beribadah warga Desa Krapyak sangat taat, khususnya tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Namun, menjalin hubungan silaturahmi pun juga sangat penting untuk memupuk rasa persaudaraan dan persatuan.
Di saat warga desa lain saling berkunjung ke rumah sanak saudara dan tetangga, warga Desa Krapyak justru berdiam diri di rumah mereka. Hal itu terjadi karena enam hari setelah hari raya Idul Fitri mereka masih melaksanakan puasa sunah.
Usai acara peringatan Nuzulul Qur’an, Siti Aisyah, putri tunggal Bapak Rohmat, Kepala Desa Krapyak, langsung pulang ke rumah sambil menahan kantuk. Sesampainya di rumah Siti membaringkan tubuhnya di kamar, sampai ia terlelap dalam tidur pulasnya. Dalam buai mimpi indahnya Siti bertemu dengan KH. Abdullah Sirodj, yang merupakan keturunan dari Kyai Bahu Rekso, pendiri Kota Pekalongan.
“Putriku Siti Aisyah, eratkanlah kembali tali silaturahmi dan persaudaraan wargamu. Jangan biarkan tali silaturahmi dan persaudaraan wargamu menjadi kian renggang. Jangan biarkan mereka bercerai-berai. Ingat selalu pesanku ini!” ucap KH. Abdullah Sirodj dalam mimpinya.
Sebelum KH. Abdullah Sirodj meninggalkan Siti, beliau memberikan sepotong lopis kepada Siti. Entah mengapa setelah menerima lopis tersebut Siti terbangun dari tidurnya. Anehnya lagi, di kasurnya tergeletak sepotong lopis yang sama persis dengan lopis dalam mimpinya.
Sejenak Siti termenung. Ia teringat pesan dari KH. Abdullah Sirodj kepadanya. Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar.
“Siti bangun, Nak, sahur!” Suara Bu Rohmat membuyarkan lamunan Siti.
“Iya, Bu. Tunggu sebentar,” jawab Siti.
Ketika sahur sikap Siti menjadi aneh. Ia sering melamun. Ia selalu saja ingat akan pesan dari KH Abdullah Sirodj kepadanya. Perubahan sikap itu tentu membuat kedua orang tuanya terheran-heran.
Usai santap sahur, Pak Rohmat pun menanyakan pada Siti perihal perubahan sikapnya itu.
“Siti, kamu kenapa Nduk? Bapak lihat dari tadi kamu murung dan sering melamun. Apakah ada yang menyusahkan hatimu?”
“Siti mimpi, Pak.”
“Mimpi apa tho, Nduk?”
“Mbah buyut KH. Abdullah Sirodj datang menemui Siti. Beliau memberi Siti sepotong lopis ini,”ucap Siti sambil memperlihatkan lopis pemberian KH. Abdullah Sirodj.
“Terus apa yang mbah buyutmu sampaikan?”
“Beliau memberi amanat agar Siti bisa menjadikan warga desa kita ini lebih erat persaudaraan serta dalam hubungan bersilaturahmi. Apa yang harus Siti lakukan Pak? Siti bingung.”
“Siti, percayalah pada dirimu. Mbah buyutmu KH. Abdullah Sirodj memberikan kamu lopis karena beliau yakin dengan lopis itu kamu bisa mewujudkan amanat beliau.”
Suara adzan Shubuh berkumandang. Percakapan ayah dan anak itu pun terhenti. Keduanya bergegas menunaikan ibadah shalat Shubuh di masjid desa. Percakapan yang belum tuntas itu menyisakan tanda tanya besar dalam benak Siti.
Hari demi hari berganti, tak terasa Lebaran tinggal menghitung hari. Siti masih terdiam dengan tanda tanya besar dalam benaknya.
Di teras rumah ia melamun Tiba-tiba suasana hiruk-pikuk tetangga depan rumahnya yang sedang mengadakan hajatan membuatnya terilhami akan sesuatu.
“Ahaaa .. aku puny aide.” Siti berkata-kata dengan dirinya sendiri.
Siti bergegas pergi menuju ke rumah Rani, temannya di karang taruna desa.
Tok .. tok. Pintu diketuk. “Asalamualaikum Rani!” Seru Siti di depan pintu rumah Rani.
Tak lama berselang Rani pun keluar dari rumahnya.
“Eh, Siti ada apa? Sore-sore begini sudah ke sini. Apa kamu tidak membantu ibumu menyiapkan hidangan untuk buka nanti?”
“Begini Ran. Aku punya ide supaya warga desa ini kembali dapat merasakan hangatnya persaudaraan dan bersosialisasi dengan warga desa lain. Kamu tahu kan selama ini setiap kali lebaran desa kita selalu sepi. Jarang warga desa lain yang berkunjung. Bahkan antarwarga sedesa pun tradisi itu sudah mulai renggang.”
“Iya sih, kamu benar. Tradisi puasa sunah enam hari setelah hari raya yang membuat warga ini enggan berkunjung. Mereka merasa tidak enak hati berkunjung di
masa sedang berpuasa. Mereka lebih memperbanyak ibadah. Padahal kunjungan untuk bersilaturahmi pada masa-masa lebaran itu juga penting artinya sebagai wujud dari Ukuwah Islamiyah. Memangnya kamu punya ide apa?”
“Kamu tahu lopis kan? Bagaimana kalau kita membuat sesuatu yang speaktakuler dengan lopis?” Ujar Siti dengan wajah berbinar.
“Memangnya sesuatu yang speaktakuler apa sih yang bisa kita lakukan dengan lopis?”
“Lopis yang biasa kita makan sehari-hari ukurannya kecil. Sekarang kita membuat lopis dengan ukuran yang super besar. Dengan begitu antarwarga desa kita dan warga desa lain akan tertarik untuk mengunjungi desa kita dan kembali menyambung tali persaudaraan yang selama beberapa tahun ini agak renggang.”
“Wah idemu bagus juga. Aku siap membantu. Ayo kita ajak teman-teman karang taruna yang lain untuk ikut bergabung.”
Dua sahabat itu dengan penuh semangat mengobarkan semangat remaja karang taruna untuk menggelar acara tersebut. Besok malamnya Siti dan rekan-rekannya di karang taruna, atas izin dari Pak Rohmat, menggelar rapat untuk acara lopisan.
Rapat berjalan lancar. Namun di tengah acara terjadi adu pendapat yang seru antara Siti dan Agung. Agung mengusulkan agar lopis raksasa kreasi mereka dibungkus dengan plastik saja supaya praktis. Sedangkan Siti bersikukuh tetap mempertahankan daun pisang sebagai pembungkus lopis.
Siti memaparkan alasan mengapa ia mempertahankan daun pisang sebagai pembungkus lopis mereka. Ada falsafah penting yang ingin ditanamkan melalui simbol daun pisang itu. Seperti yang kita tahu pohon pisang tidak akan mati sebelum berbuah. Dengan kata lain pohon pisang tidak akan mati sebelum berjasa dan meninggalkan manfaat untuk generasi penerusnya.
Hal itu selaras dengan makna ketan sebagai bahan dasar lopis. Falsafah dari ketan adalah persatuan dan kesatuan. Ketan yang lengket dan memiliki daya rekat yang kuat sehingga tidak mungkin butiran-butirannya dapat tercerai-berai.
Agung pun dengan besar hati menerima pendapat Siti yang mampu menyentuh perasaannya. Setelah keputusan didapat, para pemuda karang taruna segera mengumpulkan segala keperluan untuk menanak lopis raksasa.
Malam lebaran telah tiba, semua warga bergotong royong untuk mempersiapkan acara lopisan mereka yang pertama kalinya. Suasana akrab mewarnai berlangsungnya persiapan-persiapan acara tersebut. Gang-gang, jalan-jalan, setiap sudut desa penuh hiasan. Suasana yang begitu menyejukkan hati Siti, sang pelopor.
Keesokan harinya seusai menunaikan ibadah sholat Idul Fitri, warga desa kembali berkumpul dan mempersiapkan acara besar mererka. Hari itu penuh dengan semangat kebersamaan dan kegotong royongan.
Para bapak dan remaja putranya bekerja bakti membersihkan desa sedangkan para ibu dan remaja putrinya saling bahu membahu membuat lopis yang proses pembuatannya memakan waktu hingga empat hari dan tiga malam.
Setelah 6 hari berpuasa sunah, warga Desa Krapyak benar-benar sudah dapat merayakan Lebaran. Tidak hanya itu berita tentang lopis raksasa menggema ke seluruh penjuru kota. Desa Krapyak yang semula sepi dan lengang menjadi ramai pengunjung. Warga desa saling berkunjung, bahkan warga desa lain ikut meramaikan acara lopisan tersebut. Mereka ada yang mengunjungi sanak famili atau kerabat, ada pula yang sekedar menikmati jajan gratis sambil menonton lopis raksasa dipotong dan dibagi-bagikan.
Siapa yang menyangka lopis raksasa buah keuletan warga desa yang mempunyai diameter 150 cm, tinggi 110 cm, dan berat mencapai 185 kg mendapat penghargaan dari MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai lopis terbesar di Indonesia.
Acara lopisan itu pun diliput oleh stasiun televisi nasional bahkan internasional. Berbagai media pun tidak ketinggalan memberitakan acara lopisan yang kian tahun kian bertambah besar ukurannya. Hal itu menandakan semakin besar pula rasa persatuan dan persaudaraan antarwarga desa.
Para pengunjung yang datang dari berbagai daerah di nusantara, bahkan turis mancanegara pun banyak yang berdatangan ingin ikut merayakan suka cita hari kemenangan. Kini tradisi lopis dijadikan sebagai salah satu dari warisan budaya Kota Pekalongan yang harus dilestarikan.
Kini Bapak Walikota sendirilah yang berkenan meresmikan acara lopisan itu. Acara yang semula direncanakan untuk merekatkan persatuan dan persaudaraan warga desa Krapyak, akhirnya menjadi simbol pemersatu bangsa. Betapa bahagianya Siti Aisyah mengetahui generasi penerusnya melestarikan tradisi luhur yang dibangunnya bahu membahu untuk menyampaikan amanat terpuji itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar