Cerpen Anak Karya Ibu Ernika Sondang SHS
Bocah laki-laki itu mengangguk-angguk lalu menulis cepat-cepat di atas buku kecil yang selalu ia bawa ke mana-mana. Apa yang ia tulis segera ia tunjukkan pada seorang Ibu yang berdiri di sebelahnya. Ibu itu tersenyum dan mengangguk pula.
Segera sesudahnya bocah laki-laki itu bergegas mengangkat barang-barang belanjaan si ibu menuju ke deretan becak-becak yang terparkir di emperan pasar. Setelah ibu itu menawar ongkos becak pada salah seorang abang becak, barulah bocah itu menata barang-barang belanjaan tersebut ke dalam becak serapi mungkin agar si ibu bisa duduk dengan tenang dan nyaman.
“Terima kasih ya, Nak!” ucap si ibu seraya memberinya selembar uang lima ribuan. Bocah laki-laki itu mengangguk-angguk lagi setelah menerima uang itu. Ia hendak menyerahkan uang kembaliannya pada si ibu.
“Sudah buat kamu semua,” ucap si ibu.
Kali ini si bocah mengeleng-geleng dan tetap ingin menyerahkan uang kembalian itu. Namun, si ibu tetap tidak mau. Becak pun melaju pelan-pelan meninggalkan si bocah yang masih menguntit di belakang sambil mengacung-acungkan uang di tangannya. Ketika becak itu agak jauh meninggalkannya, si bocah tak lagi mengejar. Ia duduk termenung di emperan pintu utama pasar sambil menunggu siapa saja yang membutuhkan bantuannya.
Hari ini merupakan hari keberuntungan bocah laki-laki itu. Banyak pengunjung pasar yang meminta bantuannya untuk membawakan barang belanjaan mereka. Banyak juga yang memberinya upah lima ribuan tanpa bersedia menerima uang kembalian dari si bocah. Padahal biasanya hanya tiga ribu perak sebagai upah jasa mengangkut barang belanjaan.
Si bocah masih ingat kemarin, sewaktu ia dengan ikhlas hati menolong seorang nenek tua yang kerepotan membawa banyak belanjaan. Nenek tua itu tidak punya uang lebih untuk membayar jasa yang telah diberikan oleh si bocah. Si nenek meminta maaf dan mengucapkan terima kasih berulang kali pada si bocah. Bocah itu seperti biasa mengangguk-angguk seraya tersenyum tulus ke arah si nenek. Kini kebaikan hatinya terbalas.
Ketika pasar tutup pada sore harinya, si bocah pun pulang dengan berjalan gontai. Sore ini ia tak lupa berbagi sedikit rezekinya dengan bocah-bocah lain yang seharian mengamen tetapi kurang beruntung. Paling tidak sekedar membuat teman-temannya itu bisa makan sore dengan lauk seadanya.
Bocah sederhana dan bisu itu telah menjadi bagian dari pasar setiap harinya. Orang-orang mengenalnya sebagai anak yang rajin dan penolong. Dari Mang Imam si tukang becak, Bang Midun yang berprofesi sebagai tukang cukur kaki lima, Yu Darmi penjual dawet, sampai ke Bang Togar si preman pasar. Meskipun tak bisa berbicara, ia senantiasa menyunggingkan senyum kepada siapa saja yang ditemuinya. Semua itu melebihi ribuan kata-kata yang bisa tersampaikan melalui bahasa lisan.
Sepasang kaki dekilnya yang beralaskan sandal jepit kumal begitu ringan menapaki liku jalanan menuju kawasan pemukiman kumuh di bawah jembatan, tempat ia tinggal sementara bersama beberapa anak jalanan lain yang tak lagi punya sanak saudara dan rumah tempat bernaung. Namun, sebuah mobil sedan mewah menghentikan langkahnya. Seorang lelaki setengah baya yang mengenakan stelan jas mahal ke luar dari dalam mobil dan mendekatinya.
“Bondan, kaukah itu Nak?” sapa si bapak dengan suara bergetar.
Si bocah bisu yang dipanggil Bondan oleh si bapak itu terkesima sesaat. Namun, ia segera menyurutkan langkah dan berniat untuk melarikan diri. Si bapak dengan sigap meraih pergelangan tangan bocah laki-laki itu dan memegangnya sekuat mungkin. Si bocah meronta-ronta kesal.
“Pulanglah, Nak. Maafkan ayahmu ini yang selama ini mengabaikan bahkan tak pernah mau mengakuimu sebagai darah dagingku sendiri. Hanya dikarenakan kekurangan yang ada padamu itu. Maafkan ayah, Bondan. Pulanglah ke rumah. Bundamu sakit keras. Hanya kamulah yang bisa memberikan semangat hidup pada Bundamu…”
Bapak itu segera memeluk erat tubuh anaknya. Kerinduan yang mengendap sekian lama semenjak kepergian anak tunggalnya itu luruh menjadi sedan dan linangan air mata. Si bisu pun tak sanggup menahan gejolak hatinya yang selama ini merana dan terabaikan. Ia pun larut dalam keharuan. Meskipun dengan suara yang seadanya, si bisu menangis di bahu ayahnya.
Akhirnya, Bondan bersedia pulang bersama ayahnya. Mobil sedan mewah itu melaju meninggalkan dunia jalanan yang beberapa bulan ia geluti dengan penuh suka cita dan semangat. Akankah ia tahu betapa cemas teman-temannya di kawasan kumuh menanti-nanti kepulangannya? Akankah ia juga tahu kalau orang-orang pasar yang mengenalnya begitu merindukan senyumanannya itu.
Ke mana si bisu yang baik hati itu? Apa yang terjadi pada bocah sederhana yang selalu ringan tangan menolong siapa saja? Apakah ia baik-baik saja? Di manakah ia kini berada? Hingga berhari-hari pertanyaan-pertanyaan itu menggantung tanpa ada yang bisa menjawab semenjak si bisu menghilang tanpa jejak.
Hingga di suatu pagi pasar geger dengan pemberitaan di koran-koran dan surat kabar. Foto si bisu terpampang besar di halaman depan. Orang-orang ternganga seakan tidak percaya saat membaca sebuah realita yang mengagetkan perihal identitas si bisu yang sebenarnya. Ia bernama Bondan Wicaksana, putra tunggal Ahmad Wicaksana, seorang pengusaha sukses sekaligus orang paling berpengaruh di kota mereka.
Selama ini sang pengusaha berusaha menyembunyian identitas anak kandungnya sendiri karena malu dengan kekurangan yang ada padanya. Kini, tak ada yang disembunyikan lagi dari siapapun perihal Bondan. Anak adalah anugerah dan titipan dari Yang Mahakuasa yang sudah selayaknya disayangi, dicintai, dalam keadaan seperti apapun.
Ibu Bondan berangsur-angsur pulih dari sakitnya. Usaha ayahnya maju pesat. Sang pengusaha tergerak hatinya untuk membantu memberikan pinjaman keuangan pada pedagang-pedagang kecil di pasar itu agar bisa mengembangkan usaha mereka. Bang Tagor pun tidak lagi berprofesi sebagai preman. Ia mendapat pekerjaan baru sebagai satpam di salah satu perusahaan ayah Bondan. Semua yang dilakukan sang ayah itu atas usulan dari Bondan.
Sedangkan teman-teman Bondan, baik itu anak-anak pengamen maupun anak-anak jalanan tinggal di rumah singgah. Ayah Bondan menjadi orang tua asuh bagi mereka. Mereka pun bisa bersekolah lagi. Bondan tak akan pernah bisa melupakan teman-temannya. Bondan tetaplah Bondan. Si bisu yang baik hati, penolong, dan selalu ingin berbagi dengan siapa saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar